Tunas Daud...Tunas Daud...maklum Oracle sekolah di sana...

Rabu, 20 Februari 2013

Balada KOMANG dan KETUT

Di dalam tradisi Bali, kelahiran anak selalu ditandai dengan pemilihan nama yang terbaik  setelah melalui perenungan,  doa beserta banten dan atas ijin leluhur....itu nama belakangnya. Nama depannya jelas sudah tertanda sejak si jabang bayi belum nongol ke dunia. 

Memutuskan nama saja sudah ada ritual doa dan persembahannya. Pacar keponakanku dari Karangasem bercerita tentang adat di tempatnya.
Begitu si bayi nongol nggak langsung dapat nama kecuali nama depannya sesuai nomor urut kelahiran ( kayak coblosan pemilu ya...hehehe...).

Pada hitungan hari baik si bayi  atau biasanya sesudah tali pusatnya lepas, dengan dipimpin seorang pendeta, masing masing anggota keluarga yng dituakan akan menyumbang/boleh menyumbang sebuah nama. Kemudian masing-masing nama ini akan digulung dan diselipkan pada sebatang dupa. Sang pendeta pun berdoa kemudian menyalakan keseluruhan dupa. Dan dupa yang terakhir habislah yang akan disandang sang bayi,konon nama inilah yang disetujui oleh leluhur...unik kan?

Kalau anak pertama pasti ya kalau nggak Putu, Wayan atau Gede, anak kedua Kadek atau Made, anak ketiga Nyoman atau Komang dan anak ke empat si Ketut. Kalau anaknya lebih dari empat, urutannya akan kembali mulai Putu lagi dst...dst...
Bagusnya nama ini hanya ada di Bali, jadi mau ke seantero jagat kalau pas kenalan menyebut nama-nama depan tadi bisa dipastikan orang non Bali yang lahir di Bali atau terlahir sebagai  asli keluarga dan leluhur Bali.

Yang jadi masalah adalah, dengan keberhasilan program nasional Keluarga Berencana Nasional yang menyarankan untuk memiliki anak dua saja, laki-laki atau perempuan sama saja, kelahiran  bayi-bayi di Bali menjadi berkurang...
Apalagi dengan semakin terasa sulitnya ekonomi, sulitnya mencari uang dan pekerjaan yang layak, biaya hidup  yang tinggi, berpikir lebih jauh lagi, biaya pendidikan yang luar biasa, biaya medis yang setinggi langit.

Orangpun lebih berpikir untuk mempunyai anggota keluarga yang lebih kecil. Kalaupun ada yang memiliki banyak anak atau nambah terus adalah mereka yang masih merasa mempunyai tanggung jawab meneruskan keturunan alias harus punya anak laki-laki untuk mewarisi nama keluarga, urusan sanggah dan tradisi serta keterikatan keluarga terhadap leluhurnya.

Jadi ya bisa dibayangkan, dalam sekian tahun mendatang, akan semakin langka si Komang dan si Ketut...tidak ada lagi anak ke-tiga dan ke-empat.
Tradisi yang tergerus pemikiran modern?? 



Filosofi RUJAK CINGUR

Kalau dari  Jawa Timur, siapa sih yang nggak kenal sama ruak cingur?

Racikan Bu Gunadi selalu memuaskan lidahku. Warung rujak Bu Gunadi tidak jauh dari rumah ibu di Batu. Setiap pulang ke Batu selalu ada dalam list teratas khusus hunting makanan.
Kacang tanah, lombok, pisang batu yang masih muda, gula merah, garam, air asam dan terasi bercampur dengan pekatnya petis.
 
Makanan ini termasuk sehat karena banyak unsur 4 sehatnya, ada karbohidrat kalau makannya pakai lontong, ada sayurannya, ada protein dari tempe, tahu atau cingurnya. Dan terakhir berisi buah-buahan seperti timun, belimbing, bengkuang, nanas yang banyak mengandung  vitamin.
 
Ketika menyaksikan bu Gunadi sedang 'beraksi' mengulek , aku sedikit tertarik melihat ( sambil menahan liur biar nggak ngiler...tes...tes...) ketika dia menakar dengan ukuran yang sama dua macam petis, yang satu hitam legam dan satunya agak kecolatan.

Rasa ingin tau tak dapat ditahan, jadi aku bertanya kenapa harus 2 macam, dan sebagai seorang 'suhu' rujak cingur yang sudah bertahun-tahun bergelut dengan rujak, beliau mengatakan : yang hitam ini petis paling enak, yang coklat nggak enak.
Oh aku berpikir dan refleks mengatakan "biar ngirit ya bu"....ternyata dia bilang "bukan mbak..., rujak itu kalau petisnya yang enak saja malah nggak enak, tapi kalau dicampur dengan yang nggak enak rasanya pasti enak..kalau petisnyayang enak saja rasanya jadi eneg..!!!

Ternyata dari sebungkus rujak kita bisa mengambil filosofinya, hidup serba "ter" atau "enak" siapa sih yang nggak mau, tapi namanya manusia kadang kita tidak bisa mengharapkan semuanya sesuai dengan apa yang kita inginkan/harapkan.
Ketika yang enak bercampur dengan yang nggak enak kita akan lebih bisa memaknai hidup...tergantung dari bagaimana cara kita menikmatinya. 
 
Tentu saja bagaimana kita bisa merasa/menyebut diri bahagia kalau kita tak tau yang sedih itu bagaimana rasanya.

( nulis ini sambil ngiler pengen rujak....tes..tes...)