Di dalam tradisi Bali, kelahiran anak selalu ditandai dengan pemilihan nama yang terbaik setelah melalui perenungan, doa beserta banten dan atas ijin leluhur....itu nama belakangnya. Nama depannya jelas sudah tertanda sejak si jabang bayi belum nongol ke dunia.
Memutuskan nama saja sudah ada ritual doa dan persembahannya. Pacar keponakanku dari Karangasem bercerita tentang adat di tempatnya.
Begitu si bayi nongol nggak langsung dapat nama kecuali nama depannya sesuai nomor urut kelahiran ( kayak coblosan pemilu ya...hehehe...).
Pada hitungan hari baik si bayi atau biasanya sesudah tali pusatnya lepas, dengan dipimpin seorang pendeta, masing masing anggota keluarga yng dituakan akan menyumbang/boleh menyumbang sebuah nama. Kemudian masing-masing nama ini akan digulung dan diselipkan pada sebatang dupa. Sang pendeta pun berdoa kemudian menyalakan keseluruhan dupa. Dan dupa yang terakhir habislah yang akan disandang sang bayi,konon nama inilah yang disetujui oleh leluhur...unik kan?
Kalau anak pertama pasti ya kalau nggak Putu, Wayan atau Gede, anak kedua Kadek atau Made, anak ketiga Nyoman atau Komang dan anak ke empat si Ketut. Kalau anaknya lebih dari empat, urutannya akan kembali mulai Putu lagi dst...dst...
Bagusnya nama ini hanya ada di Bali, jadi mau ke seantero jagat kalau pas kenalan menyebut nama-nama depan tadi bisa dipastikan orang non Bali yang lahir di Bali atau terlahir sebagai asli keluarga dan leluhur Bali.
Yang jadi masalah adalah, dengan keberhasilan program nasional Keluarga Berencana Nasional yang menyarankan untuk memiliki anak dua saja, laki-laki atau perempuan sama saja, kelahiran bayi-bayi di Bali menjadi berkurang...
Apalagi dengan semakin terasa sulitnya ekonomi, sulitnya mencari uang dan pekerjaan yang layak, biaya hidup yang tinggi, berpikir lebih jauh lagi, biaya pendidikan yang luar biasa, biaya medis yang setinggi langit.
Orangpun lebih berpikir untuk mempunyai anggota keluarga yang lebih kecil. Kalaupun ada yang memiliki banyak anak atau nambah terus adalah mereka yang masih merasa mempunyai tanggung jawab meneruskan keturunan alias harus punya anak laki-laki untuk mewarisi nama keluarga, urusan sanggah dan tradisi serta keterikatan keluarga terhadap leluhurnya.
Jadi ya bisa dibayangkan, dalam sekian tahun mendatang, akan semakin langka si Komang dan si Ketut...tidak ada lagi anak ke-tiga dan ke-empat.
Tradisi yang tergerus pemikiran modern??
Tradisi yang tergerus pemikiran modern??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar