Waktu masih kecil aku sering ditanya, pengen jadi apa kelak besar nanti? Sama ketika mengisi buku kenangan pada masa-masa Sekolah Dasar menjelang perpisahan..jawabanku tidak berubah : jadi sarjana hukum.
Keinginan ini kupegang begitu kuat hingga saat penjurusan di SMA, aku lebih memilih jurusan sosial ( lagian aku nyadar nggak bisa matematika...he..he.. ).
Begitu lulus dari SMA , aku dengan pastinya memilih fakultas hukum, karena pengen mandiri aku memilih hijrah ke Bali, dan Tuhan pun berkehendak atas doaku..jadilah aku anak Batu yang pindah ke Bali.
Diterima di universitas negeri sedikit melegakan orang tuaku, mengingat kedua kakakku juga sedang banyak banyaknya biaya di perguruan tinggi.
Universitas Udayana saat registrasi ulang , aku masih di uji lagi, saat pemeriksaan kesehatan aku diberikan catatan, besok mesti kembali lagi tapi langsung menghadap ke Pembantu Rektor III ( bidang kemahasiswaan ).
Semalaman bertanya tanya kenapa , ada apa, paginya akhirnya terjawab, ditemani bapak yang pagi harinya sudah datang dari Malang..ternyata karena kondisi fisikku aku 'diragukan' untuk mampu melanjutkan kuliahku...aku disuruh berjalan di depan 'beliau' ( yang bagiku merupakan ujian kesabaranku besar besaran), dan akhirnya beliau mengijinkan, tetapi aku sendiri tidak tau atas dasar apa beliau mengijinkan aku untuk tetap lanjut, aku memang mampu atau karena kasihan.
Tapi aku sempat membela diri, kalau memang orang dengan kondisi seperti aku nantinya tidak diijinkan masuk atau diterima mending pada saat pendaftaran sipenmaru di buku panduannya di tulis, "tidak diijinkan bagi orang cacat", jangan kita sudah berusaha tinggal cari ilmunya saja dipersulit.
Bukannya aku dibiarkan mencari ilmu sebanyak banyaknya dengan caraku sendiri malah ini kesannya seperti dipersulit.
Berbarengan dengan aku menghadap 'anak anak bermasalah' lain, seperti seorang teman yang tingginya kurang 1 cm tidak diterima di fakultaas keguruan, juga ada seorang anak buta warna tidak diijinkan untuk masuk di fakultas sastra ( apa hubungannya ya..kalau buta warna sama sastra?...seperti aku mungkin kalau aku di fakultas tehnik atau fakultas yang membutuhkan fisik lebih kuat aku bisa ngerti kalau ditolak dan dari awal pun aku nggak akan gila untuk memilih jurusan yang aku sendiri nggak akan mampu....aneh!!! )
Dengan penuh semangat dan kerja keras akhirnya bisa juga aku lulus berbarengan dengan Mas Bambang ( fakultas pertanian ) yang dua tahun di atasku.
Keinginan melanjutkan menjadi notaris terganjal faktor biaya dan kesempatan. Sempat magang tapi sering terbentur oleh perasaan, jadi pembela membela yang salah..wah kok jadi repot ya...magang di notaris boss aja yang tambah kaya...
Setelah sekian lama, bertemu kembali dengan rekan rekan se angkatan ternyata banyak juga yang bekerja tidak sesuai di bidang ranah hukum seperti aku.
Dan semakin aku pikir dan telaah, berbicara dengan banyak orang, aku bisa menarik kesimpulan , minimal untuk diriku sendiri, entah orang lain..
Bahwa, menjadi sarjana atau lebih tinggi stratanya dari S1, adalah perlu dan tetap penting, kuliah tetap penting,mencari ilmu semakin banyak dan semakin tinggi adalah penting sekalipun banyak yang mengatakan "buat apa jadi sarjana" nanti juga nganggur".. inti dari semuanya menurutku bukanlah itu.
Aku sarjana hukum, salah satu keinginanku tercapai, aku membuat orang tuaku bangga karena aku telah dibiayainya dengan perjuangan yang luar biasa.Kalau aku sekarang tidak bekerja sebagai ahli hukum tetapi minimal dalam hidupku aku nggak buta hukum, dan yang lebih penting ternyata hikmah, makna atau manfaat lebih tepatnya dari orang yang merasakan 'kuliah' adalah wawasan dan cara berpikir yang berbeda, karena terbiasa menganalisa membuat setiap pemikiran dan ucapan dapat lebih terkonsep dengan baik dan tertata..sementara itu ijazah atau wisuda hanyalah klimaks dari semuanya.
Keinginan ini kupegang begitu kuat hingga saat penjurusan di SMA, aku lebih memilih jurusan sosial ( lagian aku nyadar nggak bisa matematika...he..he.. ).
Begitu lulus dari SMA , aku dengan pastinya memilih fakultas hukum, karena pengen mandiri aku memilih hijrah ke Bali, dan Tuhan pun berkehendak atas doaku..jadilah aku anak Batu yang pindah ke Bali.
Diterima di universitas negeri sedikit melegakan orang tuaku, mengingat kedua kakakku juga sedang banyak banyaknya biaya di perguruan tinggi.
Universitas Udayana saat registrasi ulang , aku masih di uji lagi, saat pemeriksaan kesehatan aku diberikan catatan, besok mesti kembali lagi tapi langsung menghadap ke Pembantu Rektor III ( bidang kemahasiswaan ).
Semalaman bertanya tanya kenapa , ada apa, paginya akhirnya terjawab, ditemani bapak yang pagi harinya sudah datang dari Malang..ternyata karena kondisi fisikku aku 'diragukan' untuk mampu melanjutkan kuliahku...aku disuruh berjalan di depan 'beliau' ( yang bagiku merupakan ujian kesabaranku besar besaran), dan akhirnya beliau mengijinkan, tetapi aku sendiri tidak tau atas dasar apa beliau mengijinkan aku untuk tetap lanjut, aku memang mampu atau karena kasihan.
Tapi aku sempat membela diri, kalau memang orang dengan kondisi seperti aku nantinya tidak diijinkan masuk atau diterima mending pada saat pendaftaran sipenmaru di buku panduannya di tulis, "tidak diijinkan bagi orang cacat", jangan kita sudah berusaha tinggal cari ilmunya saja dipersulit.
Bukannya aku dibiarkan mencari ilmu sebanyak banyaknya dengan caraku sendiri malah ini kesannya seperti dipersulit.
Berbarengan dengan aku menghadap 'anak anak bermasalah' lain, seperti seorang teman yang tingginya kurang 1 cm tidak diterima di fakultaas keguruan, juga ada seorang anak buta warna tidak diijinkan untuk masuk di fakultas sastra ( apa hubungannya ya..kalau buta warna sama sastra?...seperti aku mungkin kalau aku di fakultas tehnik atau fakultas yang membutuhkan fisik lebih kuat aku bisa ngerti kalau ditolak dan dari awal pun aku nggak akan gila untuk memilih jurusan yang aku sendiri nggak akan mampu....aneh!!! )
Dengan penuh semangat dan kerja keras akhirnya bisa juga aku lulus berbarengan dengan Mas Bambang ( fakultas pertanian ) yang dua tahun di atasku.
Keinginan melanjutkan menjadi notaris terganjal faktor biaya dan kesempatan. Sempat magang tapi sering terbentur oleh perasaan, jadi pembela membela yang salah..wah kok jadi repot ya...magang di notaris boss aja yang tambah kaya...
Setelah sekian lama, bertemu kembali dengan rekan rekan se angkatan ternyata banyak juga yang bekerja tidak sesuai di bidang ranah hukum seperti aku.
Dan semakin aku pikir dan telaah, berbicara dengan banyak orang, aku bisa menarik kesimpulan , minimal untuk diriku sendiri, entah orang lain..
Bahwa, menjadi sarjana atau lebih tinggi stratanya dari S1, adalah perlu dan tetap penting, kuliah tetap penting,mencari ilmu semakin banyak dan semakin tinggi adalah penting sekalipun banyak yang mengatakan "buat apa jadi sarjana" nanti juga nganggur".. inti dari semuanya menurutku bukanlah itu.
Aku sarjana hukum, salah satu keinginanku tercapai, aku membuat orang tuaku bangga karena aku telah dibiayainya dengan perjuangan yang luar biasa.Kalau aku sekarang tidak bekerja sebagai ahli hukum tetapi minimal dalam hidupku aku nggak buta hukum, dan yang lebih penting ternyata hikmah, makna atau manfaat lebih tepatnya dari orang yang merasakan 'kuliah' adalah wawasan dan cara berpikir yang berbeda, karena terbiasa menganalisa membuat setiap pemikiran dan ucapan dapat lebih terkonsep dengan baik dan tertata..sementara itu ijazah atau wisuda hanyalah klimaks dari semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar